Malam makin larut, begitu juga perut ini, semakin malam semakin keroncongan neh perut, nasi bungkus yang sudah masuk perut dari cirebon teryata tak membuat cacing-cacing di dalam perut ini terpuaskan hingga pada saatnya nanti sampai di malang harapku, tak banyak hal yang kami bisa lakukan, selain hanya memejamkan mata, melek dan bercanda kembali dengan teman-teman, main kartu sebentar, terus tidur lagi.. bangun lagi.. dan kehausan, tapi di sinilah letak kekurang nyamanan di kereta ekonomi yang kami tumpangi ini, selain agak lama alias pelan, masih banyak pedagang yang hilir mudik lalu lalang di dalam gerbong, tak ubahnya gerbong kadang seperti pasar yang berjalan, setiap satu menit hingga lima menit pasti ada pedangan yang berjualan dan lalu lalang di dalam gerbong, kadang terasa sangat kurang nyaman karena sangat menggangu ketika penumpang akan tidur dan beristirahat, tapi di sisi positifnya adalah penumpang tidak perlu kawatir untuk kelaperan, karena para pedagang telah menyiapkan dagangannya dari kue-kue kecil untuk sekedar cemilan, sampai nasi bungkus pun ada, seperti yang aku tunggu-tunggu saat itu jam 4 pagi buta sebelum subuh, kereta baru sampai di madiun, ingat kata-kata “Madiun” langsung nyambung neh otakku kalau pecel yang enak itu dalam kosakata perut dan otakku hanya ada dua, yaitu pecel madiun dan pecel ponorogo, gak lama setelah aku terbangun dari tidur-tidur ayamku(tidur yang dikit-dikit bangun) lewatlah pedagang yang menjajakan nasi pecel… langsung tanpa ba bi bu.. saya pesen 1 bungkus, piro pak’e sego pecele? tanyaku dalam bahasa jawa kepada sang pejual yang artinya berapa pak nasi pecelnya?” sang penjualpun langsung menjawab “telongewu mas” (tiga rbu”) langsung ku keluarkan duit recehan dari saku celanaku sebelah kanan, satu lembar uang seribuan, dan satu lembar uang pecahan dua ribu rupiah, jadi totalnya pas tiga ribu, “iki pak’e duite pas telongewu yo, matur suwon” “ini pak, uangnya pas tiga ribu ya, terima kasih” langsung saja ku buka bungkusannya, isinya memang gak begitu banyak hanya nasi sedikit, di tambah dengan tempe dan seplastik kecil bumbunya beserta tidak lupa sayur sedikit juga, ya sebanding lah dengan harganya yang cuman tiga ribu rupiah saja, kalau di Jakarta uang 3 ribu dapat apa ya? parkir motor aja dua ribu.. hehehe.. ku buka plastik yang berisi bumbu pecelnya, ku amati kok agak encer ya? tapi masa bodo ah, perut ini sudah tidak sabar lagi untuk menyantap pecele madiun favoritku dan wow.. meskipun agak encer sambelnya tapi taste rasa khasnya itu masih ada, gurih-gurih manis sedkit pedes gimana gitu hehehe, tapi memang gak seenak pecel madiun kesukaanku ku dulu yang waktu kuliah menjadi makanan favorituku, kebetulan dulu ada teman kuliah yang membuka usaha warung pecel madiun di jember, aku dulu sering makan di sana, meskipun agak mahal bagiku untuk seukuran kantong mahasiswa tapi aku sukan makan di sana, kebetulan teman saya ini rajin dan pintar, sehingga aku dan temen-temen sekelas yang lain sering nongkrong disana sambil belajar bareng dan bertanya tentang mata kuliah yang rumit-rumit seperti rangkaian listrik, dan teory medan listrik yang menjadi momok mata kuliah setiap mahasiswa teknik elektro, hanya mahasiswa yang beimajinasi tinggi dan berotak encer saja yang bisa mendapatkan nilai bagus di mata kuliah tersebut.. hehehe. lumayan sekali gayuh..dua..tiga pulau terlampaui.. perut kenyang, ilmu pun makin dalam hehehe.. gak kerasa dalam waktu lima menit nasi bungkus langsung abis, aku makan dengan lahapnya, kebetulan nasinya masih hangat, jadi makin mantablah itu pecel yang hanya tiga ribu rupiah saja. gak lama kemudian om kelik yang berada di sampingku langung terperanga melihat diriku dengan lahapnya menyantap nasi pecel madiun, dengan mata merah yang masih terlihat kantuk-kantuk gitu om tak menyurutkan rasa penasarannya mengenai apa yang sedang ku makan, makan apa li? tanya om kelik padaku.. makan pecel madiun om, coba deh om coba enak gal, balesku, setelah itu om kelik mencoba sesuap nasi pecel yang ada di tanganku… wuih enak juga li, beli di mana? makin penasaran si om kelik, ntu om kelik ntar lagi juga ada yang jualan, dan betul saja, gak lama kemudian sanga penjual pecel lewat di gerbong, jadilah om kelik beli satu bungkus juga, dengan lahapnya akhirnya kami makan pecel berudua dengan om keliak sementara yang lainnya masih terlelap di tidur panjangnya, sepanjang gerbong kereta api mata remaja ini… hahaha.
Aha lumayan ni perut sudah kenyang dengan pecel madiun yang tiga ribu rupiah saja, sesaat kemudian habis makan terbitlah ngantuk hahaha… jadi seperti makan sahur jam 4 pagi yang biasanya di hari-hari pertama dengan mata terkantuk-kantuk makan nasi seadanya, apalagi yang masih ngekost, mau nyari makan keluar di jam 3 pagi itu beraaaat banget rasanya, sepertinya butuh perjuangan besar untuk cari makan sahur di jam 3 tersbut, seperti perjuangan anak kuliah yang di kasih tugas mulu setiap hari sama dosennya… wkwkkw, ku pejamkan mata ini sebentar saja mata ini sambil menikmati kenyangnya perut yang kadang membuat malas berpikir karena kalau perut kekenyangan biasanya males mikir karena energi kita lari semua ke perut untuk mengolah makanan yang sudah kita masukkan ke dalam perut, jadi si Otak gak dapet bagian energi, kalaupun dapet pasti sedikit, jadilah ngantuk adanya sesaat setelah makan… teory kasarnya sih gitu. tapi kalau …dasarnya orang suka tidur, baik dalam keadaan perut keroncongan maupun kekenyangan tetep aja bisa tidur kayak aku… hahahaha…
Di ujung ufuk timur sana sepertinya sang fajar sudah menyambut kami yang terlelap dalam gerbong kereta, dengan seberkas sinar jingganya menyapa lembut kulit kami dari balik jendela sebelah kanan ku, bergegas kemudian aku langsung bangun dan mengeluarkan kamera di dalam tas kecilku yang selalu kubawa kemanapun, ku lihat samping kanan kiri ternyata teman-teman masih tidur, tetapi di beberapa kursi di depan dan belakangku sudah mulai bangun, setalah ku keluarkan kameraku, siaplah aku untuk membidik dan mengabadikan indahnya sang fajar di pagi yang melelahkan ini. tidak puas aku dengan posisi yang sekarang, kemudian aku mencari beberapa titik spot yang cocok dan pas untuk membidik dan menekan shutter release cameraku beberapa kali aku harus berpindah-pindah dari sebelah kanan gerbong ke sebelah kiri gerbong. kebetulan di gerbong depan ternyata gak banyak orang, hanya beberapa orang yang sudah terbangun sambil menikmati sarapan atau sekedar minum kopi di pagi hari, nampak juga om kelik dan mbak ria di situ yang sedang asyik menikmati kopi di pagi hari dan menikmati sejuknya udara yang kebetulan melewati persawahan di daerah blitar. dari sebelah kanan ku bidik beberapa foto kuningnya senja, namun kadang-kadang senja beralih di sebelah kiri kereta karena jalannya kereta yang berbelok-belok. tak puas aku dengan beberapa bidikan, akhirnya aku putuskan untuk berpindah di sisi sebelah kiri tepatnya di pintu belakang sambil menikmati hijau dan kuningnya persawahan yang berisi tanaman padi yang beberapa petaknya siap untuk di panen. pagi pun menjelang, secercah harapan datang dan selamat tinggal malam yang kelam dan penuh kegelapan
sang fajar malu-malu di balik pohon
sawah yang sebagian tanaman padinya siap untuk di panen
berkendara motor di tengah persawahan
mataremaja mengejar sang fajar
indahnya sinar matahari di pagi hari
sengaja banyak foto yg versi HDR hehehe
cerita sebelumnya ada disini:
Mengejar Sunrise Bromo… hos…hos… (1)
Mengejar Sunrise Bromo… Kereta Kegelapan(2)
to be continued…